Diego Costa: Singa Berapi yang Menggetarkan Dunia Sepak Bola
Diego Costa: Singa Berapi yang Menggetarkan Dunia Sepak Bola
Blog Article
Diego Costa, nama yang identik dengan kegarangan, fisik tangguh, dan naluri mencetak gol yang mematikan, adalah salah satu striker paling kontroversial sekaligus memesona di era modern. Lahir pada 7 Oktober 1988 di Lagarto, Brasil, Costa menjalani karier yang penuh liku, dari jalanan Brasil hingga panggung elit Eropa, meninggalkan jejak tak terlupakan di setiap klub yang dibelanya.
Awal Karier: Perjuangan dari Brasil ke Eropa
Costa memulai karier di klub kecil Barcelona EC di Brasil sebelum pindah ke Portugal pada usia 17 tahun untuk bergabung dengan SC Braga. Namun, masa-masa awalnya di Eropa tidak mulus. Ia sempat dipinjamkan ke tim divisi bawah seperti Penafiel sebelum akhirnya menarik perhatian Atlético Madrid pada 2007. Awalnya, ia dipinjamkan ke beberapa klub seperti Celta Vigo, Albacete, dan Valladolid untuk mengasah bakatnya. Di Valladolid, Costa mulai menunjukkan taringnya dengan mencetak 8 gol dalam 32 pertandingan di La Liga musim 2009–10.
Kebangkitan di Atlético Madrid
Costa kembali ke Atlético Madrid pada 2010 dan perlahan menjadi pilar penting. Di bawah asuhan Diego Simeone, ia menjelma menjadi mesin gol yang ditakuti. Musim 2013–14 menjadi puncaknya: Costa mencetak 27 gol di La Liga dan 8 gol di Liga Champions, membawa Atlético meraih gelar La Liga serta runner-up Liga Champions. Gaya bermainnya yang agresif, kombinasikan dengan kecerdikan dalam memanfaatkan celah pertahanan lawan, membuatnya dijuluki "Binatang" oleh media Spanyol.
Petualangan di Chelsea: Kontroversi dan Gelar
Pada 2014, Costa dibeli Chelsea dengan harga £32 juta. Di Premier League, ia langsung menjadi bintang, mencetak 20 gol di musim pertamanya dan membantu Chelsea meraih gelar Premier League 2014–15. Namun, reputasinya kerap tercoreng karena insiden kontroversial: provokasi, kartu kuning berulang, hingga tuduhan bermain kotor. Meski demikian, kemampuannya mencetak gol dalam situasi kritis tak terbantahkan. Bersama Chelsea, ia meraih dua gelar Premier League (2015, 2017) dan satu Piala Liga (2015).
Kembali ke Atlético dan Penurunan Fisik
Costa kembali ke Atlético Madrid pada 2018, tetapi cedera dan masalah kebugaran membatasi kontribusinya. Meski sempat membantu tim meraih Liga Europa 2018 dan Piala Super UEFA 2018, performanya tak lagi secemerlang sebelumnya. Pada 2020, ia hengkang ke Brasil, bergabung dengan Atlético Mineiro, dan membantu klub tersebut meraih gelar Campeonato Brasileiro Série A 2021.
Karier Internasional: Pilihan yang Mengundang Polemik
Lahir di Brasil, Costa memilih membela Spanyol pada 2013, keputusan yang menuai kritik dari kedua negara. Ia tampil di Piala Dunia 2014 dan 2018, mencetak 10 gol dalam 24 penampilan. Meski tak meraih trofi, kehadirannya selalu memberi dimensi baru pada serangan Spanyol.
Gaya Bermain: Kombinasi Kekuatan dan Kecerdikan
Costa bukan sekadar striker fisik. Ia memiliki kemampuan mengalirkan bola, membaca permainan, dan memancing emosi lawan untuk mengacaukan pertahanan. Meski kerap dianggap "jahat", rekan setim memujinya sebagai pemimpin alami yang tak kenal takut. Sergio Ramos pernah menyebutnya: "Pemain yang ingin kamu miliki di timmu, tapi sangat menjengkelkan jika jadi lawan."
Warisan: Legenda yang Tak Sempurna
Pada 2023, Costa memutuskan pensiun setelah sempat bermain di Botafogo (Brasil) dan Wolverhampton Wanderers (Inggris). Kariernya diwarnai 183 gol dalam 543 penampilan klub, serta koleksi 8 trofi besar. Di luar lapangan, ia dikenal sebagai sosok rendah hati yang aktif mendukung komunitas kurang mampu di Brasil.
Penutup
Diego Costa mungkin tidak pernah menjadi idola yang disukai semua orang, tetapi pengaruhnya dalam sepak bola tak terbantahkan. Ia adalah simbol striker "old school" yang gigih, tak kenal kompromi, dan selalu haus kemenangan. Bagai singa yang terluka di akhir karier, Costa meninggalkan warisan: dalam sepak bola, terkadang, kamu harus berjuang dengan cakar dan taring untuk bertahan.
Report this page